Artikel Jurnal Konseptual Bahasa Indonesia
BILINGUALISME DALAM PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA PADA
MASYARAKAT MODERN
DISUSUN OLEH :
NAMA : Yulius Rizki Deka Anggara
NIM : 20622010027
STIE
GENTIARAS BANDARLAMPUNG
2021
Abstrak
Bahasa memang suatu alat komunikasi yang sangat penting
bagi semua orang diseluruh negara. Bagi bangsa Indonesia bahasa Indonesia tidak
hanya merupakan alat komunikasi untuk berkomunikasi antara satu orang dengan
orang lain, namun juga sebagai alat pemersatu bangsa. Bilingualisme di
Indonesia tidak hanya terjadi antara bahasa Indonesia dengan bahasa asing,
namun juga antara bahasa Indonesia dengan bahasa daerah yang terdapat disuatu
wilayah. Semakin populernya bahasa asing terutama bahasa Inggris dirasa semakin
memudarkan kecintaan masyarakat Indonesia terhadap bahasa Indonesia. Sebagian
masyarakat lebih memilih menggunakan bahasa asing daripada bahasa Indonesia
dikarenakan mereka lebih merasa prestige, dan lebih keren.
Kata kunci: Bahasa, Bahasa Indonesia, Bahasa Asing,
Bilingualisme.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bahasa adalah sebuah sistem, artinya bahasa itu dibentuk
oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap, dan dapat dikaidahkan. Ciri
dari hakikat bahasa adalah, bahwa bahasa itu adalah sistem lambang, berupa
bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi. Dengan
sistematis maksudnya, bahasa itu tersusun menurut suatu pola tertentu, tidak
tersusun secara acak atau sembarangan.
Sistem bahasa yang digunakan berupa lambang-lambang dalam
bentuk bunyi. Setiap lambang bahasa menggunakan lambang bahasa yang berbunyi , melambangkan
konsep atau makna. Dalam bahasa Indonesia satuan bunyi [air], [kuda], dan
[meja] adalah lambang ujaran karena memiliki makna, tetapi bunyi-bunyi bukanlah
lambang ujaran karena tidak memiliki makna. Lambang bahasa itu bersifat
arbiter, artinya hubungan antara lambang dengan yang dilambangkannya, tidak
bersifat wajib, bisa berubah, dan tidak dapat dijelaskan mengapa lambang itu
mengonsepi makna tertentu.
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam
bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Secara harfiah sudah dapat
dipahami apa yang dimaksud bilingualisme itu, yakni berkenaan dengan penggunaan
dua bahasa atau dua kode bahasa. Bilingualisme terjadi karena adanya kontak
bahasa antara dua kelompok bahasa yang berbeda, ada dalam setiap negara di
dunia, dalam semua kelas masyarakat, dan dalam semua kelompok usia. Oleh karena
itu, sulit sekarang ini menemukan masyarakat yang benar-benar monolingual
karena tidak ada kelompok bahasa yang terpisah dari kelompok bahasa yang lain
(Grosjean, 1982: 1). Pengertian bilingualisme antara satu ahli dengan yang lain
masih memiliki kekurangan di sana-sini. Oleh karenanya menurut Grosjean tidak
ada definisi bilingualisme yang dapat diterima secara umum.
Dari pernyataan tersebut dapat ditangkap bahwa tidak
mudah mendefinisikan konsep bilingualisme. Dari definisi tersebut dapat
dikatakan bahwa masih ada kekurangan di sana-sini. Bilingualisme pada intinya
harus dapat menjelaskan keberadaan sekurang-kurangnya dua bahasa dalam penutur
yang sama, dengan mengingat bahwa kemampuan dalam bahasa ini dapat sama atau
tidak, dan bahwa cara bahasa ini dipakai memainkan peranan penting.
Rumusan Masalah
1.
Sejauh mana taraf
kemampuan seseorang akan B2 sehingga dia dapat disebut sebagai seorang
yang bilingual?
2.
Kapan seorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu
secara bergantian?
3.
Kapan pula di dapat secara bebas untuk dapat menggunakan
B1-nya atau B-2 nya? Dan pakah bilingualisme berlaku pada satu kelompok
masyarakat tutur?
Tujuan
Dalam artikel jurnal konseptual membahas tentang
kedwibahasaan di Indonesia, memiliki tujuan untuk mengingatkan bahwa bahasa
Indonesia perlu di rawat dan di lestatrikan, tetapi juga perlu belajar bahasa
asing untuk menyiapkan diri dalam menghadapai tantangan global.
PEMBAHASAN
Bahasa menunjukkan kepribadian bangsa, dan sebagai anak
bangsa yang bangga terhadap jati diri
bangsa atau yang lazim juga disebut identitas merupakan ciri khas yang menandai
seseorang, sekelompok orang, atau suatu bangsa. Jika ciri khas itu menjadi
milik bersama suatu bangsa, hal itu tentu menjadi penanda jati diri bangsa
tersebut. Seperti halnya bangsa lain, bangsa Indonesia juga memiliki jati diri
yang membedakannya dari bangsa yang lain di dunia. Jati diri itu sekaligus juga
menunjukkan keberadaan bangsa Indonesia di antara bangsa lain. Salah satu
simbol jati diri bangsa Indonesia itu adalah bahasa, dalam hal ini tentu bahasa
Indonesia. Hal itu sejalan dengan semboyan yang selama ini kita kenal, yaitu
“bahasa menunjukkan bangsa”.
Namun, bagaimana kondisi kebahasaan kita sebagai jati
diri bangsa saat ini? Kalau kita lihat secara cermat, kondisi kebahasaan di
Indonesia saat ini cukup memprihatinkan, terutama penggunaan bahasa Indonesia
di tempat umum, seperti pada nama bangunan, pusat perbelanjaan, hotel dan
restoran, serta kompleks perumahan, sudah mulai tergeser oleh bahasa asing,
terutama bahasa Inggris. Tempat yang seharusnya menggunakan bahasa Indonesia
itu mulai banyak yang menggunakan bahasa yang tidak lagi menunjukkan jati diri
keIndonesiaan. Akibatnya, wajah Indonesia menjadi tampak asing di mata
masyarakatnya sendiri. Kondisi seperti itu harus kita sikapi dengan bijak agar
kita tidak menjadi asing di negeri sendiri. Nilai rasa bahasa Indonesia yang
berkurang akibat adanya pencampuran bahasa seorang penutur yang tidak tepat
kapan menggunakan Bahasa pertama (Bahasa Indonesia/B1) dan Bahasa keduanya
(Bahasa Asing/B2).
Bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa
oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa disebut orang yang bilingual
(dwibahasawan), sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut
bilingualitas (kedwibahasawanan).
Pertanyaan pertama, seseorang harus dapat menguasai B1
dan B2 dengan derajat yang sama baiknya, barulah dikatakan bilingual, bukan
setengah-setengah yang justru menurunkan nilai rasa bahasa Indonesia
dibandingkan bahasa asing. Sebagai contoh kasus, kita dapat melihat sikap
sebagian masyarakat yang tampaknya merasa lebih hebat, lebih bergengsi, jika
dapat menyelipkan beberapa kata asing dalam berbahasa Indonesia, padahal
kosakata asing yang digunakannya itu ada padanannya dalam bahasa Indonesia.
Misalnya, sebagian masyarakat lebih suka menggunakan kata di-follow up-i,
di-pending, meeting, dan on the way. Padahal, kita memiliki kata
ditindaklanjuti untuk di-follow up-i, kata ditunda untuk di-pending, pertemuan
atau rapat untuk meeting, dan sedang di jalan untuk on the way.
Pertanyaan mengenai kapan seorang penutur bilingual
menggunakan satu bahasa tertentu, B1 nya atau B2 nya, atau satu ragam bahasa
tertentu adalah menyangkut masalah fungsi bahasa atau fungsi ragam bahasa
tertentu di dalam masyarakat tuturnya sehubungan dengan adanya ranah-ranah
penggunaan bahasa atau ragam bahasa tersebut. Kapan harus digunakan B1 dan
kapan pula harus digunakan B2 tergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan,
dan situasi sosisal pembicaraan. Jadi penggunaan B1 dan B2 ini tidaklah bebas. Tidak
seharusnya kita membiarkan bahasa Indonesia larut dalam arus komunikasi global
yang menggunakan media bahasa asing seperti itu. Jika hal seperti itu kita
biarkan, tidak tertutup kemungkinan jati diri keindonesiaan kita sebagai suatu
bangsa pun akan pudar, bahkan tidak tertutup kemungkinan terancam larut dalam
arus budaya global. Jika hal itu terjadi, jangankan berperan di tengah
kehidupan global, menunjukkan jati diri keindonesiaan kita sebagai suatu bangsa
pun kita tidak mampu. Kondisi seperti itu tentu tidak akan kita biarkan
terjadi. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya agar jati diri bangsa kita
tetap hidup di antara bangsa lain di dunia. Dalam konteks kehidupan global
seperti itu, bahasa Indonesia sesungguhnya selain merupakan jati diri bangsa,
sekaligus juga merupakan simbol kedaulatan bangsa.
Pertanyaan ketiga mengenai bilingualisme berlaku pada
satu kelompok masyarakat tutur menyangkut hakikat bahasa dalam kaitannya dengan
penggunaannya di dalam masyarakat tutur bilingual. Bilingualisme bukan gejala
bahasa, meliankan sifat penggunaan bahasa yang dilakukan penutur bilingual
secara berganti-ganti. Mackey juga mengatakan kalau bahasa itu milik kelompok
atau milik bersama suatu masyarakat tutur, maka bilingualisme adalah milik
individu-individu para penutur, sebab penggunaan bahasa secara bergantian oleh
seorang penutur bilingual mengharuskan adanya dua masyarakat tutur berbeda,
misalnya masyarakat tutur B1 dan masyarakat tutur B2. Artinya setiap bahasa di
dalam masyarakat bilingual itu tidak dapat secara bebas digunakan, melainkan
harus diperhatikan fungsinya masing-masing. Jika sebagai suatu bangsa, salah
satu simbol jati diri kita adalah bahasa dan sastra Indonesia; sebagai anggota
suatu komunitas etnis di Indonesia, simbol jati diri kita adalah bahasa dan
sastra daerah. Oleh karena itu, sebagai suatu simbol jati diri kedaerahan,
bahasa dan sastra daerah juga harus kita jaga dan kita pelihara untuk
menunjukkan jati diri dan kebanggaan kita sebagai anggota masyarakat daerah.
Sebagai simbol jati diri bangsa, bahasa Indonesia harus
terus dikembangkan agar tetap dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana
komunikasi yang modern dalam berbagai bidang kehidupan. Di samping itu, mutu
penggunaannya pun harus terus ditingkatkan agar bahasa Indonesia dapat menjadi
sarana komunikasi yang efektif dan efisien untuk berbagai keperluan. Upaya ke
arah itu kini telah memperoleh landasan hukum yang kuat, yakni dengan telah
disahkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara, serta Lagu Kebangsaan. Undang-undang tersebut merupakan amanat dari
Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan sekaligus
merupakan realisasi dari tekad para pemuda Indonesia sebagaimana diikrarkan
dalam Sumpah Pemuda, tanggal 28 Oktober 1928, yakni menjunjung bahasa persatuan
bahasa Indonesia. Setiap bahasa pada dasarnya merupakan simbol jati diri
penuturnya, begitu pula halnya dengan bahasa Indonesia juga merupakan simbol
jati diri bangsa. Oleh karena itu, bahasa Indonesia harus senantiasa kita jaga,
kita lestarikan, dan secara terus-menerus harus kita bina dan kita kembangkan
agar tetap dapat memenuhi fungsinya sebagai sarana komunikasi modern yang mampu
membedakan bangsa kita dari bangsa-bangsa lain di dunia. Lebih-lebih dalam era
global seperti sekarang ini, jati diri suatu bangsa menjadi suatu hal yang amat
penting untuk dipertahankan agar bangsa kita tetap dapat menunjukkan
keberadaannya di antara bangsa lain di dunia. Untuk memperkuat jati diri itu,
baik yang lokal maupun nasional, diperlukan peran serta berbagai pihak dan
dukungan aturan serta sumber daya yang memadai. Peran serta masyarakat juga
sangat diperlukan dalam memperkuat jati diri bangsa itu. Dengan jati diri yang
kuat, bangsa kita akan makin bermartabat sehingga mampu berperan, bahkan juga
bersaing dalam kancah kehidupan global.
Dilain pihak munculnya fenomena RSBI (Rintisan Sekolah
Bertaraf Internasional) dan juga SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) yang
keduanya menggunakan metode pembelajaran bilingual sehingga lebih dikenal
dengan sekolah bilingual. Sekolah bilingual merupakan sekolah yang saat ini
cukup digemari oleh masyarakat Indonesia. Para orang tua berlomba-lomba
memasukkan anak mereka di sekolah bilingual dengan alasan bahwa sekolah bilingual
lebih bermutu atau hanya sekadar alasan prestige. Begitu pula anak-anak mereka,
rajin mengikuti bimbingan belajar untuk dapat diterima di sekolah bilingual,
yang bisa dibilang sebagai sekolah unggulan.
Mengapa bahasa Inggris begitu gencar digalakkan di Indonesia?
Hal ini tentu saja karena tantangan pengaruh globalisasi. Bahasa Inggris sudah
menjadi bahasa internasional, jika kita tidak menguasainya kita akan kesulitan
bersosialisasi dengan masyarakat dunia atau internasional.
sebagai contoh, siswa yang mengikuti lomba tingkat
internasional tidak bisa banyak berkata menjawab soal. Bukan karena mereka tak
kompeten dalam bidangnya, namun karena penguasaan bahasa Inggris yang minim.
Tentu saja kondisi ini amat disayangkan. Kondisi seperti ini tentunya jangan sampai
terjadi lagi. Seperti halnya bahasa Indonesia yang mempersatukan ratusan etnis
di kepulauan nusantara, begitu pula bahasa Inggris yang mempersatukan ratusan
negara di dunia. Dunia sudah masuk ke lingkungan pergaulan global. Jadi tidak
ada salahnya bangsa Indonesia menggalakkan pemakaian bahasa Inggris, karena
menutup diri berarti menghalangi kemajuan bangsa kita sendiri.
Lalu bila kita belajar dan menggalakkan pemakaian bahasa
Inggris, apakah kita jadi tidak mencintai bahasa Indonesia?
Berkenaan dengan hal itu, yang terpenting adalah bahwa
bila kita ingin melestarikan bahasa Indonesia kita harus ‘memampukan’ pengguna
bahasanya. Jangan sampai upaya untuk melestarikan bahasa Indonesia justru
‘mengerdilkan’ pengguna bahasa itu sendiri. Bahasa tidak akan berkembang tanpa
dukungan dari pengguna bahasa itu, dan sebaliknya pengguna bahasa itu juga
takkan dapat berbuat banyak bila mereka ada dalam keadaan terpinggirkan.
Mackey (dalam Chaedar dan Agustina 2004:84)
mengelompokkan empat aspek untuk mempermudah pembicaraan mengenai bilingual,
yaitu sebagai berikut :
Tingkat kemampuan
Kemampuan berbahasa akan nampak pada empat keterampilan,
yaitu menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Keempat keterampilan ini
mencakup level fonologi, gramatik, leksis, semantic,dan stylistic.
Fungsi
Tingkat kefasihan berbahasa tergantung pada fungsi atau
pemakaian bahasa itu. Dapat dikatakan bahwa semakin sering bahasa itu dipakai,
semakin fasihlah penuturnya. Adapun factor yang mempengaruhi yaitu factor
internal dan eksternal.
Faktor internal mencakup antara lain :
Pemakain internal seperti menghitung, perkiraan, berdoa,
menyumpah,mimpi,menulis catatan harian, dan mencatat
Atitude : bakat atau kecerdasan, dan ini dipengaruhi oleh
antara lain : 1. Sex 2. Usia 3. Intelegensi 4. Ingatan 5. Sikap bahas 6.
Motivasi
Faktor eksternal di pengaruhi oleh :
Kontak, artrinya kontak penutur dengan bahasa di rumah,
bahasa dalam masyarakat, bahasa disekolah, bahasa media masa, dan
korespondensi. Variabel artinya variable dari kontak penutur tadi dan
ditentukan oleh 1. Lamanya kontak, 2 seringnya kontak, 3. Tekanan, artinya
bidang yang mempengaruhi penutur dalam pemakaian bahasa, seperti ekonomi,
administrative, cultural, politik, militer, historis, agama, dan demograf.
Pergantian antar bahasa ( alternation)
Pergantian antar bahasa ini bergantung pada kefasihan dan
juga fungsi eksternal dan internal. Kondisi-kondisi penutur berganti bahasa
diciptakan paling tidak oleh tiga hal , yang pertama topic pembicaraan, yang
kedua orang yang terlibat dan ketegangan ( tension)
Interfensi ( interference)
Interfensi adalah kekeliruan yang disebabkan terbawanya
kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa atau dialeg ibu kedalam bahasa dialeg kedua.
Interfensi bias terjadi pada pengucapan, tata bahasa, kosa kata dan makna bahkan
budaya. Diskripsi interfensi dengan demikian bersifat individual, jadi bersifat
idiosinkrasi dan parole penutur.
Selain empat aspek yang telah dikemukakan oleh Meckey,
Alwasilah menambahkan dua aspek lainnya, yaitu:
Pergeseran bahasa (Language shift)
Bila suatu kelompok baru datang ke tempat lain dan
bercampur dengan kelompok setempat maka akan terjadilah pergeseran bahasa (
language shift)
Konvergensi ( convergence) dan Indonesianisasi
Konvergensi adalah kegiatan bertemu dan terutama bergerak
menuju kesatuan dan keseragaman.
Kedwibahasaan yang ada di Indonesia, yaitu :
Bahasa daerah dan bahasa Indonesia. kedwibahasaan di
Indonesia (bahasa Daerah dan bahasa Indonesia).
Penggunaan kedwibahasaan ini dapat terjadi karena:
Dalam sumpah pemuda tahun 1928 menggunakan bahasa
Indonesia (pada waktu itu disebut Maleis) dikaitkan dengan perjuangan
kemerdekaan dan nasionalisme. Bahasa – bahasa daerah mempunyai tempat yang
wajar disamping pembinaan dan pengembangan bahasa dan kebudayaan Indonesia.
Perkawinan campur antar suku perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah
lain disebabkan urbanisasi, transmigrasi, mutasi karyawan atau pegawai, dan
sebagainya. Interaksi antar suku: yakni dalam perdagangan, sosialisasi dan
urusan kantor atau sekolah. Motivasi yang banyak didorong oleh kepentingan
profesi dan kepentingan hidup namun, sering para penutur bahasa daerah yang
juga penutur bahasa Indonesia menggunakan bahasa daerahnya yang bersifat
informal disebabkan oleh beberapa factor antara lain: Pada upacara adat yang
mengharuskan penggunaan bahasa daerah akan lebih mengesankan dan lebih sesuai dengan
suasana yang diharapkan, untuk menciptakan suasana khas; umpamanya, antara
anggota- anggota keluarga, teman akrab dan sebagaianya, untuk kepentingan
sastra dan menikmati budaya.
KESIMPULAN
Kondisi kebahasaan di Indonesia saat ini cukup
memprihatinkan, terutama penggunaan bahasa Indonesia di tempat umum, seperti
pada nama bangunan, pusat perbelanjaan, hotel dan restoran, serta kompleks
perumahan, sudah mulai tergeser oleh bahasa asing, terutama bahasa Inggris.
Tempat yang seharusnya menggunakan bahasa Indonesia itu mulai banyak yang
menggunakan bahasa yang tidak lagi menunjukkan jati diri keindonesiaan.
Akibatnya, wajah Indonesia menjadi tampak asing di mata masyarakatnya sendiri.
Bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa
oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Orang yang dapat menggunakan kedua bahasa disebut orang yang bilingual
(dwibahasawan), sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut
bilingualitas (kedwibahasawanan).
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Chaer & Leonie Agustina, Sosiolinguistik Suatu Pengantar, Jakarta,
Rineka Cipta, cet-1,1995
Anggita , Agatha Gisela Jenni . 2012. Bilingualisme.
Suhadi Ibnu. 2011. Penulisan Artikel Konseptual dan Artikel Hasil
Penelitian. Malang
Jurnal Ilmu Pendidikan. 2010 Pedoman Penulisan Artikel Jurnal. Surabaya:
Jurnal Ilmu Pendidikan
Komentar
Posting Komentar